Selasa, 24 Januari 2012

Uslub Tarbiyah Dzatiyah


Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Karena misi dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia(Al-Anbiya': 107). Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar merekameraih hidayah Allah. Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah.Paling tidak, semua manusia dapat merasakan rahmat Islam. Kondisi ini dapatdipengaruhi oleh kepribadian dai dan aktivis dakwah.Aktivis dakwah yang memikul tugas mengembangkan ajaran Islam ke segenap pelosokbumi seyogianya adalah orang yang mampu meningkatkan integritas diri dari masake masa. Peningkatan diri aktivis dakwah selaras dengan perkembangan dakwah.Peningkatan integritas diri secara mandiri inilah yang disebut dengan tarbiyah
dzatiyah.Kemampuan tarbiyah dzatiyah menjadikan dai mampu bertahan dalam berbagai ujiandan cobaan dakwah. Ia tidak futur (malas dan lesu), tidak kendur semangatdakwahnya, pemikirannya tidak jumud dan tidak akan bimbang dan ragu menjawabberbagai tuduhan miring serta yang sangat diharapkan dari efek tarbiyah dzatiyahadalah seorang dai mampu menyelesaikan persoalan yang menghadangnya.Dengan sikap itu aktivis dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atauqararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya.Dan dapat mengambil keputusan yang tepat. Utusan-utusan Rasulullah saw. telahmembuktikan dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapatbertahan sekalipun jauh dari Rasulullah saw. dan komunitas muslim lainnya.Ja'far bin Abi Thalib di antaranya. Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal diHabasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun mereka sangat merindukanberkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya, mereka dapat mempertahankandirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidupbersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukuplama. Hingga Rasulullah saw. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulangke Madinah. Beliau menyatakan, "Aku bingung apa yang membuat senang diriku,apakah karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dariHabasyah."Demikian pula Mush'ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat mengembangkandakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mush'ab sebagaiguru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan aktivisnya.Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan
menjadi mercusuar peradaban Islam.Begitulah kepribadian aktivis dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia.Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Lantaran tarbiyahdzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapatdiselesaikan dengan nilai cumlaude. Sebaliknya aktivis dakwah yang tidak mampumeningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akanmenimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama`Al-`askarul ladzi tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati, aktivis yang tidakpunya kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalamkerja dakwah'.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yangdipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27)Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Al-Mutaharikah (Kepribadian Aktivis Islam)Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam.Bahkan Rasulullah saw. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islamdalam mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit andprofer-test bagi mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yangdiutus ke suatu tempat, Nabi saw. mempertimbangkan kemampuannya dalampengembangan integritas dirinya.Ada'u Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)
Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapatmerealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah,seminar, mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhajdakwah yang begitu banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyahregular. Karena keterbatasan alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalammenyelesaikan tuntutan manhaj. Maka tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untukmenyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.Tarqiyatu Ath-Thaqah Adz-Dzatiyah (Peningkatan Potensi Diri)Peran serta aktivis terhadap dakwah sangatlah dimarakkan agar mereka dapatmemberikan kontribusinya dan menjadi bagian dari dakwah. Dai yang dapatmelakukan hal ini adalah mereka yang memahami betul potensi dirinya. Potensiyang dapat bermanfaat bagi perjalanan dakwah.Adapun aspek-aspek yang perlu ditingkatkan aktivis dakwah dalam tarbiyahdzatiyah terhadap dirinya meliputi:
1. Ar-Ruhiyah (Spiritual)
2. Al-Fikriyah (Pemikiran)
3. Al-Maliyah (Material)
4. Al-Maidaniyah (Penguasaan Lapangan)
5. Al-Harakiyah (Gerakan Dakwah)
Al-Munawaratul Al-Harakiyah (Gerak Manuver Dakwah)Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah untuk dapat mengembangkan gerak manuverdakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan manusia lainyang mendapatkan sentuhan dari dakwah dan dainya. Wilayah dakwah semakin harisemakin meluas dan aktivis dakwahnya semakin hari semakin bertambah tentu jugapeningkatan mutu kualitasnya. Dalam kajian Fiqhus Sirah, Syaikh Munir MuhammadGhadhban diungkapkan bahwa Rasulullah saw. setiap tahun selalu mendapatkanAl-Matanah An-Nafsiyah Ad-Dakhiliyah (Soliditas Personal)Tarbiyah dzatiyah juga untuk meningkatkan daya tahan dai. Aktivis yang tidaklemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban material aktivislainnya, tidak bingung dengan sekitarnya dan tidak pula linglung atauketinggalan jauh dari lajunya dakwah ini. Aktivis yang tidak menjadi beban bagidakwah atau membuat bertambahnya beban pemikiran para qiyadah.Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah Bagi AktivisUntuk dapat menjalankan program tarbiyah dzatiyah hendaknya perlumempertimbangkan kiat berikut:
Pertama, buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkandengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah dimasjid, selalu membaca 1 juz Al-Qur'an dalam setiap hari. Demikian pula aspekfikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yanghendak dicapai.
Kedua, setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritasamal yang hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera.Hal ini tentu melihat pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyahyang diprioritaskan, maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.Ketiga, sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dariprogram yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan.Keempat, agar dapat menjadi program kegiatan yang jelas, tekadkan untukmemulainya dari saat ini dan berdoalah pada Allah swt. agar dimudahkan dalammenjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan terus melakukannya, upayakanuntuk memberikan sanksi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan.
by: dakwatuna.com

Senin, 23 Januari 2012

Al Quwwah wal Amanah



Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana pemimpin yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah ketengahkan dalam kitab-Nya, Al-Qur’an. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)". 
Dalam ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas, moralitas.

1. Al Quwwah 
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya.
Selain harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.
Dari sahabat Abu Hurairah, Bersabda Rasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”. HR. Muslim

2. Amanah
Amanah dalam bahasa Arab berarti memenuhi janji. Amanah diambil dari kata Al-amnu (rasa aman) lawan dari ketakutan. Amanah berarti merasa aman dari pengkhianatan.
Sedangkan secara istilah: Segala sesuatu yang harus dijaga dan ditunaikan, baik itu hak-hak Alloh seperti ibadah dan menjauhi maksiat. Maupun hak-hak sesama manusia, seperti menjaga rahasia dan menepati janji.

Dan dari Jabir ra. berkata, tatkala Nabi saw. berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan sahabat, maka datanglah orang Arab Badui dan berkata :Kapan terjadi Kiamat ? » Rasulullah saw. terus melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata : » Rasulullah saw. mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya « . Berkata sebagian yang lain : » Rasul saw. tidak mendengar”. Setelah Rasulullah saw. menyelesaikan perkataannya, beliau bertanya:” Mana yang bertanya tentang Kiamat ?” Berkata orang Badui itu:” Saya wahai Rasulullah saw. “. Rasul saw. berkata:” Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya:” Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Rasul saw. menjawab:” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari)
Hadits ini sebuah peringatan dari Rasul saw. agar amanah itu diberikan kepada ahlinya. Dan puncak amanah adalah amanah dalam kepemimpinan umat. Jika pemimpin umat tidak amanah berarti kita tinggal menunggu kiamat atau kehancuran.

Ciri-Ciri Pemimpin yang tidak amanah, adalah sbb :
Pertama, pemimpin yang tidak memenuhi syarat keahlian, yaitu sebagaimana syarat pemimpin yang disepakati ulama Islam, adalah : Islam, baligh dan berakal, lelaki, mampu (kafaah), merdeka atau bukan budak dan sehat indra dan anggota badannya. 
Ciri kedua pemimpin yang tidak amanah adalah mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. 
Ciri ketiga adalah berlaku zhalim. Yang dipikirkan adalah kekuasaannya dan fasilitas dari kekuasaan itu, tidak peduli rakyat menderita dan sengsara bahkan tidak peduli tumpahnya darah rakyat karena kezhalimannya.
Ciri keempat adalah menyesatkan umat. Pemimpin yang tidak amanah akan melakukan apa saja untuk menyesatkan umat. Misalnya, dengan kekayaannya yang diperoleh secara zhalim membeli media masa untuk menjadi ‘corongnya’. Rasul saw bersabda:” “Selain Dajjaal ada yang lebih aku takuti atas umatku; yaitu para pemimpin yang sesat” (HR Ahmad).
Ciri kelima adalah membuat dan rusak dan hancur seluruh tatanan sosial masyarakat. Salah satu bentuknya adalah menjadi dominannya seluruh bentuk kemaksiatan dalam kepemimpinannya, seperti kemusyrikan, sihir dan perdukunan, zina dan pornografi, minuman keras dan Narkoba, pencurian dan korupsi, pembunuhan dan kekerasan, dll.

dakwatuna.com dan dari berbagai sumber

Menjaga kebiasaan Baik

Dari Abdullah bin Amr bin Al-ash -RadhiAllohu anhu- , ia berkata,“Rasullulloh-Shalallohu Alaihi Wasalam- bersabda kepadaku, “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dia dahulu bangun ditengah malam tetapi kemudian meninggalkan qiyamullail ( Shalat tahajjud )!”. ” (Mutaffaq Alaih)   Imam An-Nawawi-Rahimahullah- mengatakan, jika manusia biasa melakukan kebaikan, maka ia harus terus dan kontinyu melakukannya.